Burung
Cendrawasih Terancam Punah
BURUNG Cenderawasih atau yang disebut orang asing dengan nama Bird of Paradise,
merupakan burung khas Papua. Dari 43 spesies burung cantik ini, 35 di antaranya
bisa ditemukan di Papua. Sisanya, sudah sulit ditemukan.
Bulu indah terutama terdapat pada cendrawasih jantan. Umumnya bulu sangat cerah
dengan kombinasi hitam, cokelat kemerahan, oranye, kuning, putih, b
iru,
hijau, dan ungu. Spesies cendrawasih yang terkenal antara lain adalah
Paradisaea apoda, Paradisaea minor, Cicinnurus regius, dan Seleucidis
melanoleuca.
Burung ini biasanya hidup di hutan yang lebat atau di dataran rendah. Ia
memiliki kebiasaan bermain di pagi hari saat matahari mulai menampakkan cahaya
di ufuk timur.
Cendrawasih jantan memakai bulu lehernya yang menawan untuk menarik lawan
jenis. Tarian cendrawasih jantan amat memukau. Sambil bernyanyi di atas dahan,
pejantan ini bergoyang-goyang ke berbagai arah. Kadang malah bergantung
terbalik bertumpu pada dahan. Namun, tiap spesies tentunya punya tipe tarian
tersendiri.
Di Papua, satwa-satwa di daerah ini punya keunikan tersendiri. Burung
cendrawasih merupakan salah satu jenis burung yang beberapa nama ilmiahnya
berarti 'dari surga', 'agung', 'indah', dan 'sangat bagus'.
Robby Sawaki, salah satu seniman tradisional Papua, menyebut burung
cenderawasih sebagai bidadari tak berkaki atau Apoda. Dalam bahasa Latin burung
cendrawasih digambarkan sebagai paradisaea apoda. Burung yang sangat cantik
tetapi tidak punya kaki dipercaya bukan berasal dari bumi, karena mereka
berjalan atau bertengger di pohon.
Tiga puluh jenis cendrawasih terdapat di Indonesia, 28 di antaranya ditemukan
di Papua yang merupakan tempat tinggal cendrawasih paradigalla carunculata,
cendrawasih ekor panjang astrapia nigra, cendrawasih paratia parotia sefilata,
cendrawasih Wilson cicinnurus respublica, dan cendrawasih merah paradiasea
rubra.
Seorang putra daerah Papua yang seharian bekerja sebagai pemandu wisata, Helmut
Kmur, mengatakan, dalam setiap kesempatan saat ia melakukan perjalanan di
seluruh Tanah Papua, ia banyak melihat dan menyaksikan dengan mata kepala
sendiri satwa Papua yang di tangkap dan di jual. â€Ĺ“Salah satunya adalah burung
surga, yang sering saya jumpai dibeberapa pasar burung diluar daerah Papuaâ€Ĺ“,
ujar Helmut.
Helmut, juga menyayangkan orang asli Papua memburu dan membunuh satwa yang
dilindungi. â€Ĺ“Saya ambil contoh, orang mau membuat suatu acara harus
mempersembahkan burung cenderawasih sebagai tanda,�
katanya.
Burung yang mendapat julukan burung surga itu, dahulu populasinya cukup banyak
di hutan Papua, namun karena terus diburu akhirnya populasinya kini menurun
drastis dan sudah sulit dijumpai. Penyebabnya antara lain, hutan tempat mereka
berlindung dan berkembang biak mulai menyempit seiring dengan semakin meningkatnya
penebangan hutan.
Andreas Lameki, Kepala Dinas Kehutanan Biak Numfor mengatakan, perburuan burung
cendrawasih sebenarnya sudah dilarang berdasarkan surat keputusan Menteri
Kehutanan, namun karena harga di pasaran cukup menggiurkan, sehingga para
pemburu terus mengadakan perburuan liar.
Sedangkan cendrawasih raja, cendrawasih botak, cendrawasih merah, toowa, dan
cendrawasih kecil ekor kuning, telah masuk dalam daftar jenis satwa yang
dilindungi berdasarkan UU No 5 Tahun 1990 dan PP RI No 7 Tahun 1999.
Di berbagai pasar burung di Jakarta beberapa tahun lalu, seekor burung
cendrawasih dijual secara ilegal dengan harga Rp.1-2 juta per ekor. Sementara
itu, para kolektor juga berani membeli burung surga yang sudah diawetkan dengan
harga Rp750 ribu sampai Rp1 juta.
Jalak Bali
Jalak Bali (Leucopsar rothschildi) adalah sejenis
burung pengicau berukuran sedang, dengan panjang lebih kurang 25cm, dari suku
Sturnidae. Jalak Bali memiliki ciri-ciri khusus, di antaranya memiliki bulu
yang putih di seluruh tubuhnya kecuali pada ujung ekor dan sayapnya yang
berwarna hitam. Bagian pipi yang tidak ditumbuhi bulu, berwarna biru cerah dan
kaki yang berwarna keabu-abuan. Burung jantan dan betina serupa.
Endemik Indonesia, Jalak Bali hanya ditemukan di hutan
bagian barat Pulau Bali. Burung ini juga merupakan satu-satunya spesies endemik
Bali dan pada tahun 1991 dinobatkan sebagai lambang fauna Provinsi Bali.
Keberadaan hewan endemik ini dilindungi undang-undang.
Jalak Bali ditemukan pertama kali pada tahun 1910. Nama
ilmiah Jalak Bali dinamakan menurut pakar hewan berkebangsaan Inggris, Walter
Rothschild, sebagai orang pertama yang mendeskripsikan spesies ini ke dunia
pengetahuan pada tahun 1912.
Karena penampilannya yang indah dan elok, jalak Bali
menjadi salah satu burung yang paling diminati oleh para kolektor dan
pemelihara burung. Penangkapan liar, hilangnya habitat hutan, serta daerah
burung ini ditemukan sangat terbatas menyebabkan populasi burung ini cepat
menyusut dan terancam punah dalam waktu singkat. Untuk mencegah hal ini sampai
terjadi, sebagian besar kebun binatang di seluruh dunia menjalankan program
penangkaran jalak Bali.
Jalak Bali dinilai statusnya sebagai kritis di dalam
IUCN Red List serta didaftarkan dalamCITES Appendix I.
Elang Jawa yang Langka
Burung Elang
Jawa (Spizaetus bartelsi) merupakan salah
satu spesies elang berukuran sedang yang endemik (spesies asli) di Pulau Jawa. Satwa ini
dianggap identik dengan lambang negara Republik Indonesia, yaitu Garuda. Dan
sejak 1992, burung ini ditetapkan sebagai maskot satwa langka Indonesia.
Pertama kali saya menyaksikan penampakan burung Elang Jawa secara langsung pada
pertengahan tahun 2005 di sekitar Air Tiga Rasa di Gunung Muria Jawa Tengah.
Sayang, sampai sekarang saya belum berkesempatan untuk menyaksikannya untuk
yang kedua kali.
Secara fisik, Elang Jawa
memiliki jambul menonjol sebanyak 2-4 helai dengan panjang mencapai 12 cm,
karena itu Elang Jawa disebut juga Elang Kuncung. Ukuran tubuh dewasa (dari
ujung paruh hingga ujung ekor) sekitar 60-70 sentimeter, berbulu coklat gelap
pada punggung dan sayap. Bercoretan coklat gelap pada dada dan bergaris tebal
coklat gelap di perut. Ekornya coklat bergaris-garis hitam.
Ketika terbang, Elang
Jawa hampir serupa dengan Elang
Brontok (Spizaetus cirrhatus)
bentuk terang, namun cenderung nampak lebih kecoklatan, dengan perut terlihat
lebih gelap, serta berukuran sedikit lebih kecil. Bunyi nyaring tinggi,
berulang-ulang, klii-iiw atau ii-iiiw, bervariasi antara satu hingga tiga suku
kata. Atau bunyi bernada tinggi dan cepat kli-kli-kli-kli-kli. Sedikit banyak,
suaranya ini mirip dengan suara Elang Brontok meski perbedaannya cukup jelas
dalam nadanya.
Gambaran lainnya, sorot
mata dan penglihatannya sangat tajam, berparuh kokoh, kepakan sayapnya kuat,
berdaya jelajah tinggi, dan ketika berdiam diri sosoknya gagah dan berwibawa.
Kesan “jantan” itulah yang barangkali mengilhami 12 negara menampilkan sosok
burung dalam benderanya. Bersama 19 negara lain, Indonesia bahkan memakai
sosoknya sebagai lambang negara dengan burung mitologis garuda
Populasi burung Elang
Jawa di alam bebas diperkirakan tinggal 600 ekor. Badan Konservasi Dunia
Perserikatan Bangsa-Bangsa mengategorikannya terancam punah. Konvensi
Perdagangan Internasional untuk Flora dan Fauna yang Terancam Punah
memasukkannya dalam Apendiks 1 yang berarti mengatur perdagangannya ekstra
ketat. Berdasarkan kriteria keterancaman terbaru dari IUCN, Elang Jawa dimasukan dalam
kategori Endangered atau “Genting” (Collar et al., 1994, Shannaz et al., 1995).
Melalui Keputusan Presiden Nomor 4 Tahun 1993 tentang Satwa dan Bunga Nasional,
Pemerintah RI mengukuhkan Elang Jawa sebagai wakil satwa langka dirgantara.
Habitat burung Elang Jawa
hanya terbatas di Pulau Jawa, terutama di wilayah-wilayah dengan hutan primer
dan di daerah perbukitan berhutan pada peralihan dataran rendah dengan
pegunungan.
Bahkan saat ini, habitat
burung ini semakin menyempit akibat minimnya ekosistem hutan akibat perusakan
oleh manusia, dampak pemanasan global, dan
dampak pestisida. Di Jawa Barat, Elang Jawa hanya terdapat di Gunung Pancar,
Gunung Salak, Gunung Gede Pangrango, Papandayan, Patuha dan Gunung Halimun.
Di Jawa Tengah Elang Jawa
terdapat di Gunung Slamet, Gunung Ungaran, Gunung Muria, Gunung Lawu, dan Gunung Merapi,
sedangkan di Jawa Timur terdapat di Merubetiri, Baluran, Alas Purwo, Taman
Nasional Bromo-Tengger-Semeru, dan Wilis.
ORANG
UTAN
Orang utan (atau orangutan, nama lainnya adalah mawas)
adalah sejenis kera besar dengan lengan panjang dan berbulu kemerahan atau
cokelat, yang hidup di hutan tropika Indonesia danMalaysia, khususnya di Pulau
Kalimantan dan Sumatera.
Ciri-Ciri
Mereka memiliki tubuh yang gemuk dan besar, berleher
besar, lengan yang panjang dan kuat, kaki yang pendek dan tertunduk, dan tidak
mempunyai ekor.[6]
Orangutan memiliki tinggi sekitar 1.25-1.5 meter.[7]
Tubuh orangutan diselimuti rambut merah kecoklatan.[3]
Mereka mempunyai kepala yang besar dengan posisi mulut yang tinggi.[6]
Saat mencapai tingkat kematangan seksual, orangutan
jantan memiliki pelipis yang gemuk pada kedua sisi, ubun-ubun yang besar,
rambut menjadi panjang dan tumbuh janggut disekitar wajah.[8] Mereka mempunyai
indera yang sama seperti manusia, yaitu pendengaran, penglihatan, penciuman,
pengecap, dan peraba.
Berat orangutan jantan sekitar 50-90 kg, sedangkan
orangutan betina beratnya sekitar 30-50 kg.
Telapak tangan mereka mempunyai 4 jari-jari panjang
ditambah 1 ibu jari.[6] Telapak kaki mereka juga memiliki susunan jari-jemari
yang sangat mirip dengan manusia.
Orangutan masih termasuk dalam spesies kera besar
seperti gorila dan simpanse.[4] Golongan kera besar masuk dalam
klasifikasimammalia, memiliki ukuran otak yang besar, mata yang mengarah
kedepan, dan tangan yang dapat melakukan genggaman.[4]
[sunting]Klasifikasi
Orangutan termasuk hewan vertebrata, yang berarti bahwa
mereka memiliki tulang belakang.[rujukan?] Orangutan juga termasuk hewanmamalia
dan primata.[rujukan?]
Spesies dan Subspesies
1. Ada 2 jenis spesies orangutan, yaitu Orangutan
Kalimantan / Borneo (Pongo pygmaeus) dan Orangutan Sumatra (Pongo abelii).2.
Keturunan Orangutan Sumatra dan Kalimantan berbeda sejak 1.1 sampai 2.3 juta
tahun yang lalu.
3. Subspecies
Pembelajaran genetik telah mengidentifikasi 3
subspesies Orangutan Borneo : P.p.pygmaeus, P.p.wurmbii, P.p.morio.[9]
Masing-masing subspesies berdiferensiasi sesuai dengan daerah sebaran
geografisnya dan meliputi ukuran tubuh.[9]
Orangutan Kalimantan Tengah (P.p.wurmbii) mendiami
daerah Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah.[9] Mereka merupakan subspesies
Borneo yang terbesar.[9]
Orangutan Kalimantan daerah Timur Laut (P.p.morio)
mendiami daerah Sabah dan daerah Kalimantan Timur. Mereka merupakan subspesies
yang terkecil.
Saat ini tidak ada subspecies orangutan Kalimantan yang
berhasil dikenali
Cara melindungi diri
Orangutan termasuk makhluk pemalu. Mereka jarang
memperlihatkan dirinya kepada orang atau makhluk lain yang tak
dikenalnya.[rujukan?]
Reproduksi
Orangutan betina biasanya melahirkan pada usia 7-10
tahun dengan lama kandungan berkisar antara 8,5 hingga 9 bulan; hampir sama
dengan manusia. Jumlah bayi yang dilahirkan seorang betina biasanya hanya satu.
Bayi orangutan dapat hidup mandiri pada usia 6-7 tahun. Kebergantungan
orangutan pada induknya merupakan yang terlama dari semua hewan, karena ada
banyak hal yang harus dipelajari untuk bisa bertahan hidup, mereka biasanya
dipelihara hingga berusia 6 tahun. [8]
Orangutan berkembangbiak lebih lama dibandingkan hewan
primata lainnya, orangutan betina hanya melahirkan seekor anak setiap 7-8 tahun
sekali.[5] Umur orangutan di alam liar sekitar 45 tahun, dan sepanjang gidupnya
orangutan betina hanya memiliki 3 keturunan seumur hidupnya.[5] Dimana itu
berarti reproduksi orangutan sangat lambat.[5]
Komodo
di Pulau Padar Punah
KUPANG - Populasi binatang langka Komodo di Balai Taman
Nasional Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur terancam punah.
Bahkan biawak raksasa yang hanya bisa hidup secara
alamiah di bagian barat Flores ini jumlahnya semakin berkurang beberapa tahun
terakhir.
Di Pulau Padar, misalnya, sejak tahun 2000 lalu populasi komodo di daerah itu
tidak ditemukan lagi. "Komodo di Pulau Padar punah total. Tidak ada lagi
kotoran komodo yang ditemukan di sana. Belum diketahui pasti penyebab punahnya
binatang langka itu. Tetapi kuat dugaan perburuan liar rusa dan babi serta
perubahan lingkungan akibat pembakaran liar menjadi penyebab punahnya
Komodo," kata Kepala Seksi Pengelolaan Balai Taman Nasional Komodo Pulau
Padar, Ramang Isaka melalui saluran telepon, Senin (4/8/2008).
Menurutnya, antara tahun 1980-1990-an, populasi komodo di Pulau Padar masih
banyak. Tetapi karena aksi para pemburu liar yang membakar hutan di kawasan itu
membuat ruang gerak komodo semakin terjepit dan kemungkinan puluhan ekor komodo
ikut terbakar.
Dia menambahkan, aksi para pemburu yang senang membakar hutan menjadi ancaman
serius bagi perkembangan komodo beberapa tahun terakhir.
"Secara keseluruhan, jumlah komodo yang masih hidup diperkirakan 2.500
ekor yang tersebar di Pulau Komodo, Pulau Rinca dan Pulau Gili Motang,"
katanya.
Biawak komodo, lanjutnya, hanya dapat bertahan hidup di lokasi yang memiliki
ketersediaan air yang cukup, tempat berlindungnya aman, banyak pohon rimbun
serta makanan berlimpah.
"Kenyataannya di Pulau Padar, rusa dan babi semakin berkurang dan sebagian
besar hutan sudah rusak akibat pembakaran liar," katanya.
Punahnya komodo di Pulau Padar, membuat pengelola Taman Nasional Komodo bekerja
keras untuk mempertahankan kelestarian binatang langka itu.
"Kami masih melakukan penyelidikan tentang penyebab utama kepunahan komodo
di Pulau Padar. Rencananya bulan ini kami akan melakukan survei untuk
mengetahui pasti kondisi alam Pulau Padar sekaligus menginventarisir
jenis-jenis makanan komodo yang masih ada di kawasan itu," katanya.
Sementara itu, arus kunjungan wisatawan asing dan mancanegara ke kawasan itu,
terus bertambah beberapa tahun terakhir. Sampai dengan semester pertama 2008,
jumlah wisatawan yang berkunjung mencapai 2.800 orang.
Sebagian besar wisatawan menjadikan kawasan Taman Nasional Komodo sebagai
tujuan utama. Kebanyakan wisatawan berasal dari Amerika Serikat, Jerman,
Belanda, Perancis, Inggris, Australia, Rusia dan beberapa negara Eropa lainnya.
Gajah
Sumatera Akan Punah dalam 30 Tahun
Gajah sumatera akan punah dalam tiga dekade
kecuali langkah cepat bisa diambil untuk menghambat laju deforestasi.
International Union for Conservation of Nature
(IUCN) menyatakan bahwa gajah sumatera adalah spesies yang terancam punah
karena populasinya menurun menjadi 2.400-2.800 dari sekitar 5.000 ekor pada
1985.
Penurunan populasi dikatakan disebabkan oleh
perusakan habitat, di mana hutan di Sumatera ditebang dan dikonversi menjadi
lahan kelapa sawit dan mendukung kepentingan industri pulp and paper.
"Gajah sumatera menjadi anggota spesies
terancam punah yang terus bertambah jumlahnya," kata Carlos Drew dari WWF
seperti dikutip AP,
Selasa (24/1/2012).
"Kecuali aksi konservasi dan segera dan
efektif, hewan luar biasa ini akan punah dalam masa hidup kita," ujarnya.
Gajah sumatera silaporkan sering berkonflik
dengan warga desa. Akibat konflik, gajah ini sering kali dibunuh. Gajah juga
diburu untuk gadingnya.
Sumatera merupakan salah satu habitat gajah terpenting
Asia, selain India dan Sri Lanka. Sumatera juga merupakan habitat bagi
orangutan sumatera yang juga terancam punah.
Harimau Sumatera Makin Terancam Punah
Harimau
Sumatera diperkirakan kini hanya terdapat seekor lagi pada habitatnya seluas
300 hektar sehingga satwa langka tersebut makin terancam punah.
"Ancaman tersebut bisa terjadi antara lain akibat terjadinya konflik satwa
langka itu dengan manusia terkait perburuan liar, salah jerat atau terperangkap
jerat babi, serta pembukaan hutan sebagai lahan pertanian dan perkebunan,"
kata Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumbar Indra Arinal di
Padang,
Indra Arinal mengatakan hal itu terkait evaluasi sepanjang 2008 di Sumbar
tercatat seekor harimau Sumatera yang mati dan tiga orang warga meninggal
akibat diterkam harimau tersebut.
Menurut dia, harimau melakukan perlawanan dengan manusia lebih karena
habitatnya dimanfaatkan akibat aktivitas pertanian dan perkebunan sawit serta
cokelat.
"Berkurangnya luas habitat mereka telah memicu terjadinya 'konflik' antara
satwa langka tersebut dan penduduk yang bermukim di sekitar kawasan hutan
itu," katanya.
Indra mengatakan, maraknya pembukaan kawasan juga akibat pemotongan jalan
perkampungan bagi perkebunan sawit dan kakao, dan memberi dampak habitat
harimau Sumatera itu makin sedikit .
Untuk tiga ekor harimau dengan luas hutan yang terpotong jelas sangat sempit
bagi harimau itu untuk hidup sehingga dapat memicu "konflik" dengan
penduduk.
"Sebanyak 40 petugas kehutanan terus disiagakan antara lain untuk
melakukan patroli secara bergilir untuk mengawasi terjadinya aksi penangkapan
liar satwa dilindungi itu," katanya.
Data BKSDA Sumbar mencatat sepanjang 2008, selain harimau Sumatera, satwa
dilindungi lainnya yang juga terancam punah adalah beruang Sumatera, tapir
Sumatera, dan penyu Sumatera yang memerlukan perhatian serius Pemprov Sumbar
untuk melindunginya.
Tapir di Sumatera Utara Terancam Punah
Jakarta: Menurut Monang dari
Wahana Lingkungan Hidup Sumatera Utara, 8-10 ribu hektare hutan lindung Nantalu
dirambah oleh perkebunan sawit, 1.500 hektare hutan lindung Register juga
dibabat untuk perkebunan sawit. Sementara itu hutan lindung Tormatutung yang
letaknya di perbatasan Kabupaten Asahan dan Kabupaten Tobasa mengalami hal
sama.
“Di hutan lindung Tormatutung ada suaka margasatwa yang hampir seluruhnya sudah
habis dan berubah menjadi perkebunan sawit,” kata Monang yang berada di
Sumatera Utara saat dihubungi Tempo, Senin siang.
Menurutnya, banyak pihak yang tidak tahu bahwa di hutan tersebut terdapat suaka
margasatwa. Hutan yang kemiringannya mencapai 30 derajat itu, kata Monang,
seharusnya tidak boleh ditebang dijadikan perkebunan sawit. Hewan tapir yang
berada di kawasan itu bisa terancam punah. “Sisa kawasan suaka margasatwa
tersebut, tinggal 300-500 hektare saja,” ujarnya.
Dia menjelaskan, laju kerusakan hutan cukup tinggi. Bahkan luas hutan di
wilayah itu, menurut Monang, tidak sampai 1 juta hektare. "Padahal Menteri
Kehuatanan mengklaim luas hutan di Sumatera Utara 3,7 juta hektare,"
ujarnya.
Hutan yang juga potensial mengalami kerusakan adalah hutan-hutan yang terletak
di perbatasan kabupaten. Monang mengatakan, ada 13 kabupaten yang memiliki
hutan di perbatasan.
Anoa di Sulawesi Tenggara Terancam Punah
Anoa, satwa endemik sekaligus maskot Sulawesi
Tenggara di Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara,terancam punah. Pasalnya,
selama lima tahun terakhir ini sulit dilacak dan diperkirakan lima tahun ke
depan akan punah.
Kepala Kantor Seksi Konservasi Sumber Daya Alam
(KSDA) Resort Kolaka Sinyo mengatakan, dulunya habitat hewan ini berada di
kawasan hutan lindung Kabupaten Kolaka dan Kolaka Utara. Sejak alih fungsi
hutan secara besar-besaran membuat populasi anoa berkurang.
”Dalam lima tahun terakhir memang populasi
binatang endemik kita ini menurun secara drastis. Pengalihan kawasan hutan
lindung menjadi hutan produksi pada lima tahun terakhir secara besar-besaran
oleh pemda Kolaka dan Kolaka Utara adalah penyebab utamanya,” ungkapnya, Selasa
(29/5).
Sinyo menambahkan, rusaknya habitat anoa di
pegunungan memaksa bintang ini masuk ke kebun atau permukiman warga. Parahnya,
anoa kerap kali dianggap sebagai ancaman oleh warga yang bermukim di kaki
Gunung Mekongga yang merupakan habitat asli binatang ini.
"Untuk mengurangi risiko diserang anoa,
warga pun memasang jerat untuk anoa,” tambahnya. Bahkan, jelang hari raya Idul
Fitri, hewan ini menjadi hewan buruan untuk diambil dagingnya lalu dijual ke
pasar secara bebas.
Seorang warga yang bermukim di Desa Ulunggulaka,
Mulyadi, mengatakan, ia kerap mendapati anoa yang terperangkap di jerat
miliknya. ”Biasanya, kami pasang jerat untuk babi, tetapi setelah kami datangi
yang kena itu anoa.
Daging anoa ini kalau dijual bisa lebih mahal daripada daging sapi. Mungkin
penyebabnya (anoa turun) karena hutan yang di atas itu sudah gundul,” paparnya.
Penyu Hijau di Tanggamus Terancam
Punah
Direktur Yayasan CIKAL Lampung, Rico Stevanus,
mengatakan, populasi penyu hijau di Kabupaten Tanggamus, Provinsi Lampung,
terancam punah karena banyaknya perburuan. Selain itu, lingkungan yang menjadi
habitat tempat bertelur hewan itu rusak.
"Habitat tempat penyu bertelur biasanya di
Teluk Kiluan, Kelumbayan, Tanggamus. Namun saat ini sudah sangat jarang
terlihat keberadaan hewan bertempurung itu," ujar Rico, di Bandarlampung,
Menurut Rico, maraknya perburuan dan pencurian
telur hewan yang tergolong langka itu, menyebabkan populasinya terus mengalami
penurunan bahkan nyaris punah.
"Saat ini populasi penyu sudah sangat minim,
sehingga perlu perhatian khusus dari seluruh elemen masyarakat, agar dapat
menjaga serta melestraikan hewan langka di dunia itu," kata Rico.
"Penyu hijau saat ini lebih banyak ditemui
di wilayah pesisir Kabupaten Lampung Barat, sedangkan untuk daerah ini
(Tanggamus) sudah sangat jarang," katanya.
Sebelumnya kawasan Teluk Kilauan merupakan tempat
atau habitat hewan itu untuk bertelur.
Kepala Pekon (Desa) Kiluannegeri, Kadek Sukresna,
mengatakan, kini sudah sangat jarang menjumpai penyu hijau di perairan Teluk
Kiluan. Padahal dulu jenis penyu ini sangat mudah ditemui.
Dia menjelaskan, pada tahun 2003-2004 memang
pernah terjadi penangkapan massal penyu hijau di daerah itu untuk dibawa ke
Pulau Bali. "Pascapenangkapan itu, populasinya terus menurun," terang
Kadek.
Sekitar tahun 2007, ia melanjutkan, sempat
dilakukan penangkaran penyu hijau di Teluk Kiluan. Namun upaya penangkaran itu
tidak berjalan maksimal.
Selain penyu hijau di kawasan perairan Teluk
Kiluan, juga dapat ditemukan penyu belimbing (Dermochelys coriacea).
Namun, ujar kepala pekon itu, seperti halnya
penyu hijau, populasi penyu belimbing pun kini semakin sedikit.