Bicara soal arsitektur tak terbatas hanya
pada bangunan, rumah atau gedung. Nah, untuk kategori ini, Jembatan
Mahakam 2 atau yang juga dikenal dengan Jembatan Tenggarong di
Kalimantan Timur, menjadi salah satu pilihan.
Melintang di atas Sungai Mahakam di
tepian Kota Tenggarong, jembatan ini adalah yang ke dua setelah Jembatan
Mahakam I yang berada di tengah Kota Samarinda. Namun demikian,
Jembatan Mahakam 2 mempunyai desain yang menarik dibanding "saudara
tuanya" atau jembatan lainnya di Nusantara. Jembatan ini tergolong
suspension cable bridge dan berdesain nyaris sama dengan Golden
Gate di San Francisco,
Amerika Serikat.
Wajar
saja bila jembatan yang membentang sejauh sekitar 710 meter ini tak
hanya berfungsi sebagai sarana transportasi, tapi juga menjadi daya
tarik bagi wisatawan yang berkunjung ke Tenggarong. Menjelang senja,
lampu-lampu yang terpasang pada tiang dan kebel-kabelnya akan menyala
dan menyajikan sebuah panorama yang indah
Selain bangunan peninggalan kolonial, Indonesia
juga memiliki sejumlah rumah adat dengan bentuk atau desain yang unik.
Bangunan ini memang bukan karya seorang arsitek era modern yang
menguasai segudang teori. Melainkan kreasi sekelompok manusia yang masih
mencintai serta menjunjung tinggi adat istiadat yang diwariskan oleh
leluhurnya. Dan Tongkonan, rumah adat masyarakat Tana Torja di Sulawesi
Selatan, adalah salah satunya.
Tongkonan
memang memiliki ciri khas tersendiri dibanding rumah adat lainnya. Rumah
ini berupa rumah panggung dari kayu. Atapnya yang terbuat dari susunan
bambu yang dilapisi ijuk hitam serta bentuknya yang melengkung seperti
perahu telungkup, membuat rumah ini mirip dengan Rumah Gadang, rumah
adat masyarakat Minang atau Batak. Dinding rumah yang terbuat dari kayu,
juga diukir dengan aneka ukiran khas Toraja.
Ciri lain yang paling menonjol pada
Tongkonan adalah adalah kepala kerbau beserta tanduknya yang meliuk
indah yang disusun pada sebuah bang utama di depan setiap rumah. Jumlah
kepala kerbau yang ada di setiap rumah bisa berbeda. Semakin banyak
"hiasan" ini di sana, maka
semakin tinggi derajat keluarga yang tinggal di dalamnya. Karenanya.
Tongkonan juga menjadi salah satu daya tarik wisata Tator dan banyak
diminati para pecinta foto.
Taman bunga yang
indah. Begitulah kira-kira arti dari nama Taman Sari. Areal pemandian
ini merupakan kompleks bangunan yang sangat indah dan menjadi aset
Keraton Yogyakarta. Dibangun setelah Perjanjian Giyanti pada tahun 1755,
tempat ini memang didesain sebagai tempat pengasingan diri Sultan
Yogyakarta dan keluarganya dari hiruk pikuk dunia. Meskipun sempat luluh
lantak terguncang gempa, saat ini Taman Sari sudah kembali terlihat
cantik.
Taman Sari memang
dirancang sedemikian rupa agar bisa menghadirkan ketenangan bagi
siapapun yang berada di dalamnya. Bangunan ini juga mencerminkan style
yang multikultur (Portugis, Belanda, Cina, Jawa, Hindu, Buddha, Nasrani,
dan Islam). Kolam mungil dengan air mancurnya yang jernih dan
pohon-pohon berbunga, menambah keasrian tempat ini. Sekaligus
menjadikannya sebagai lokasi peristirahatan yang sempurna.
Palembang
tak hanya terkenal dengan pempek atau kain songketnya. Kota
di tepian Sungai Musi ini juga dihiasi bangunan dengan arsitektur
mengagumkan seperti terlihat di Mesjid Agung Palembang.
Berlokasi tak jauh dari Plaza Benteng
Kuto Besak, di Kota Palembang, Sumatera Selatan, Mesjid Agung Palembang
mulai dibangun ketika Palembang dipimpin oleh Sultan Mahmud Badaruddin I
Jayo Wikramo, tepatnya tahun 1738. Pada zamannya, mesjid ini dipercaya
sebagai salah satu rumah ibadah terbesar yang pernah ada.
Meski digarap oleh seorang arsitek
Eropa, pengaruh Cina ikut muncul pada wajah mesjid ini. Hal itu ditandai
oleh bentukan limas dan hiasan ornamen khas Cina pada sejumlah atapnya.
Paduan dua budaya ini menjadi ciri khas Mesjid Agung Palembang dan
membuat banyak pelancong terkagum-kagum. Sebuah akulturasi budaya yang
bisa tetap berdampingan dan saling mengisi.
Sebagai bangsa yang paling lama
"menduduki" negeri ini, Belanda juga meninggalkan jejaknya di Kota
Semarang. Coba saja lihat
kawasan kota lama yang ada
di Ibukota Provinsi Jawa Tengah itu. Anda akan menjumpai banyak bangunan
tua yang bergaya masa kolonial. Dari sekian gedung yang berjajar di
tepi jalan, Gereja Blendug adalah salah satu bangunan tua yang menarik.
Dibangun sekitar tahun 1753 oleh komunitas Belanda yang dulu menghuni
kawasan ini, Gereja Blendug merupakan gereja tertua di Jawa Tengah yang
masih terawat sampai sekarang. Blendug sendiri berasal dari bahasa Jawa
yang berarti kubah, mengacu pada atap yang ada di gereja ini.
Bentuk atapnya yang melengkung dan
berwarna merah, terasa kontras dengan dindingnya yang dicat warna putih.
Empat pilar kokoh serta menara kembarnya yang khas di bagian depan juga
menjadi ciri khas gereja yang kini bernama resmi GPIB Immanuel ini.
Gereja Blendug telah menjadi ikon Kota Semarang dan selalu menjadi
lokasi persinggahan wisatawan sejarah maupun para pecinta fotografi.
Membahas tentang arsitektur atau bangunan
tua di Indonesia,
tentu tak bisa lepas dari sebuah bangunan legendaris yang berdiri kokoh
di Kota Semarang,
tepatnya di kawasan Simpang Lima, yaitu Lawang Sewu. Bangunan yang
artinya adalah "seribu pintu" ini, sesungguhnya bukan nama sebenarnya
yang diberikan untuk bangunan ini.
Nama tersebut
menjadi legendaris karena banyaknya jumlah pintu yang terdapat pada
gedung keno ini. Dahulu, Lawang Sewu yang bergaya art deco adalah kantor
perusahaan kereta api Belanda, NV Nederlandsch Indische Spoorweg
Mastshappij (NIS) dan bangunan ini merupakan salah satu karya terbaik
arsitek Prof. Jacob K. Klinkhamer dan B.J. Oudang.
Pemerintah Kota Semarang sendiri telah
menetapkan Lawang Sewu sebagai salah satu gedung yang dilindungi.
Predikat ini layak disandang oleh Lawang sewu karena gedung ini juga
merupakan saksi sejarah Indonesia saat pecahnya perang sengit selama 5
hari di Semarang, antara Angkatan Muda Kereta Api melawan kompetai dan
Kido Buati, Jepang.
Di Kota Bandung yang sejuk, Anda juga bisa
menjumpai sebuah bangunan dengan arsitektur yang lain dari yang lain.
Dibangun pada era kolonial Belanda, Gedung Sate, demikian gedung ini
banyak disebut, merupakan salah satu daya tarik yang ada di Kota
Kembang. Nama Gedung Sate sendiri muncul karena sebuah ornamen yang
terlihat seperti tusuk sate di puncak menara utamanya.
Gedung Sate hasil rancangan
Ir.J.Gerber, arsitek kenamaan lulusan Fakultas Teknik Delf Nederland dan
timnya ini, selesai dibangun pada tahun 1924. Bangunan ini mengadopsi gaya
arsitektur era Renaissance Italia. Namun, pada bagian tengahnya
terdapat menara bertingkat yang mirip dengan atap meru atau pagoda. Oleh
sebab itulah, kalangan arsitek menilai bahwa Gedung Sate memiliki
rancangan yang "berani beda" dan tak populer di zamannya.
Kini, di depan bangunan ini terdapat
sebuah monumen untuk mengenang gugurnya para pejuang Jawa Barat saat
mempertahankan Gedung Sate dari serangan pasukan Gurka. Setiap hari
Minggu atau hari libur nasional, gedung ini selalu dipenuhi wisatawan.
Usai menikmati kemegahan gedung ini
dari luar, Anda bisa menuju menaranya untuk menyaksikan benda-benda
bersejarah. Atau bisa juga sekadar bersantai di kafe yang ada di gedung
ini sambil menikmati suasana dan udara Kota Bandung yang sejuk dan
segar.