Rabu, 26 September 2012

10 Hewan Langkah di INDONESIA



Burung Cendrawasih Terancam Punah
 

BURUNG Cenderawasih atau yang disebut orang asing dengan nama Bird of Paradise, merupakan burung khas Papua. Dari 43 spesies burung cantik ini, 35 di antaranya bisa ditemukan di Papua. Sisanya, sudah sulit ditemukan.

Bulu indah terutama terdapat pada cendrawasih jantan. Umumnya bulu sangat cerah dengan kombinasi hitam, cokelat kemerahan, oranye, kuning, putih, b
iru, hijau, dan ungu. Spesies cendrawasih yang terkenal antara lain adalah Paradisaea apoda, Paradisaea minor, Cicinnurus regius, dan Seleucidis melanoleuca.

Burung ini biasanya hidup di hutan yang lebat atau di dataran rendah. Ia memiliki kebiasaan bermain di pagi hari saat matahari mulai menampakkan cahaya di ufuk timur.

Cendrawasih jantan memakai bulu lehernya yang menawan untuk menarik lawan jenis. Tarian cendrawasih jantan amat memukau. Sambil bernyanyi di atas dahan, pejantan ini bergoyang-goyang ke berbagai arah. Kadang malah bergantung terbalik bertumpu pada dahan. Namun, tiap spesies tentunya punya tipe tarian tersendiri.

Di Papua, satwa-satwa di daerah ini punya keunikan tersendiri. Burung cendrawasih merupakan salah satu jenis burung yang beberapa nama ilmiahnya berarti 'dari surga', 'agung', 'indah', dan 'sangat bagus'.

Robby Sawaki, salah satu seniman tradisional Papua, menyebut burung cenderawasih sebagai bidadari tak berkaki atau Apoda. Dalam bahasa Latin burung cendrawasih digambarkan sebagai paradisaea apoda. Burung yang sangat cantik tetapi tidak punya kaki dipercaya bukan berasal dari bumi, karena mereka berjalan atau bertengger di pohon.

Tiga puluh jenis cendrawasih terdapat di Indonesia, 28 di antaranya ditemukan di Papua yang merupakan tempat tinggal cendrawasih paradigalla carunculata, cendrawasih ekor panjang astrapia nigra, cendrawasih paratia parotia sefilata, cendrawasih Wilson cicinnurus respublica, dan cendrawasih merah paradiasea rubra.

Seorang putra daerah Papua yang seharian bekerja sebagai pemandu wisata, Helmut Kmur, mengatakan, dalam setiap kesempatan saat ia melakukan perjalanan di seluruh Tanah Papua, ia banyak melihat dan menyaksikan dengan mata kepala sendiri satwa Papua yang di tangkap dan di jual. “Salah satunya adalah burung surga, yang sering saya jumpai dibeberapa pasar burung diluar daerah Papua“, ujar Helmut.

Helmut, juga menyayangkan orang asli Papua memburu dan membunuh satwa yang dilindungi. “Saya ambil contoh, orang mau membuat suatu acara harus mempersembahkan burung cenderawasih sebagai tanda,â€
katanya.

Burung yang mendapat julukan burung surga itu, dahulu populasinya cukup banyak di hutan Papua, namun karena terus diburu akhirnya populasinya kini menurun drastis dan sudah sulit dijumpai. Penyebabnya antara lain, hutan tempat mereka berlindung dan berkembang biak mulai menyempit seiring dengan semakin meningkatnya penebangan hutan.

Andreas Lameki, Kepala Dinas Kehutanan Biak Numfor mengatakan, perburuan burung cendrawasih sebenarnya sudah dilarang berdasarkan surat keputusan Menteri Kehutanan, namun karena harga di pasaran cukup menggiurkan, sehingga para pemburu terus mengadakan perburuan liar.

Sedangkan cendrawasih raja, cendrawasih botak, cendrawasih merah, toowa, dan cendrawasih kecil ekor kuning, telah masuk dalam daftar jenis satwa yang dilindungi berdasarkan UU No 5 Tahun 1990 dan PP RI No 7 Tahun 1999.

Di berbagai pasar burung di Jakarta beberapa tahun lalu, seekor burung cendrawasih dijual secara ilegal dengan harga Rp.1-2 juta per ekor. Sementara itu, para kolektor juga berani membeli burung surga yang sudah diawetkan dengan harga Rp750 ribu sampai Rp1 juta.
Jalak Bali

Jalak Bali (Leucopsar rothschildi) adalah sejenis burung pengicau berukuran sedang, dengan panjang lebih kurang 25cm, dari suku Sturnidae. Jalak Bali memiliki ciri-ciri khusus, di antaranya memiliki bulu yang putih di seluruh tubuhnya kecuali pada ujung ekor dan sayapnya yang berwarna hitam. Bagian pipi yang tidak ditumbuhi bulu, berwarna biru cerah dan kaki yang berwarna keabu-abuan. Burung jantan dan betina serupa.
Endemik Indonesia, Jalak Bali hanya ditemukan di hutan bagian barat Pulau Bali. Burung ini juga merupakan satu-satunya spesies endemik Bali dan pada tahun 1991 dinobatkan sebagai lambang fauna Provinsi Bali. Keberadaan hewan endemik ini dilindungi undang-undang.
Jalak Bali ditemukan pertama kali pada tahun 1910. Nama ilmiah Jalak Bali dinamakan menurut pakar hewan berkebangsaan Inggris, Walter Rothschild, sebagai orang pertama yang mendeskripsikan spesies ini ke dunia pengetahuan pada tahun 1912.
Karena penampilannya yang indah dan elok, jalak Bali menjadi salah satu burung yang paling diminati oleh para kolektor dan pemelihara burung. Penangkapan liar, hilangnya habitat hutan, serta daerah burung ini ditemukan sangat terbatas menyebabkan populasi burung ini cepat menyusut dan terancam punah dalam waktu singkat. Untuk mencegah hal ini sampai terjadi, sebagian besar kebun binatang di seluruh dunia menjalankan program penangkaran jalak Bali.
Jalak Bali dinilai statusnya sebagai kritis di dalam IUCN Red List serta didaftarkan dalamCITES Appendix I.

 













Elang Jawa yang Langka

 

Burung Elang Jawa (Spizaetus bartelsi) merupakan salah satu spesies elang berukuran sedang yang endemik (spesies asli) di Pulau Jawa. Satwa ini dianggap identik dengan lambang negara Republik Indonesia, yaitu Garuda. Dan sejak 1992, burung ini ditetapkan sebagai maskot satwa langka Indonesia. Pertama kali saya menyaksikan penampakan burung Elang Jawa secara langsung pada pertengahan tahun 2005 di sekitar Air Tiga Rasa di Gunung Muria Jawa Tengah. Sayang, sampai sekarang saya belum berkesempatan untuk menyaksikannya untuk yang kedua kali.

Secara fisik, Elang Jawa memiliki jambul menonjol sebanyak 2-4 helai dengan panjang mencapai 12 cm, karena itu Elang Jawa disebut juga Elang Kuncung. Ukuran tubuh dewasa (dari ujung paruh hingga ujung ekor) sekitar 60-70 sentimeter, berbulu coklat gelap pada punggung dan sayap. Bercoretan coklat gelap pada dada dan bergaris tebal coklat gelap di perut. Ekornya coklat bergaris-garis hitam.
Ketika terbang, Elang Jawa hampir serupa dengan Elang Brontok (Spizaetus cirrhatus) bentuk terang, namun cenderung nampak lebih kecoklatan, dengan perut terlihat lebih gelap, serta berukuran sedikit lebih kecil. Bunyi nyaring tinggi, berulang-ulang, klii-iiw atau ii-iiiw, bervariasi antara satu hingga tiga suku kata. Atau bunyi bernada tinggi dan cepat kli-kli-kli-kli-kli. Sedikit banyak, suaranya ini mirip dengan suara Elang Brontok meski perbedaannya cukup jelas dalam nadanya.
Gambaran lainnya, sorot mata dan penglihatannya sangat tajam, berparuh kokoh, kepakan sayapnya kuat, berdaya jelajah tinggi, dan ketika berdiam diri sosoknya gagah dan berwibawa. Kesan “jantan” itulah yang barangkali mengilhami 12 negara menampilkan sosok burung dalam benderanya. Bersama 19 negara lain, Indonesia bahkan memakai sosoknya sebagai lambang negara dengan burung mitologis garuda
Populasi burung Elang Jawa di alam bebas diperkirakan tinggal 600 ekor. Badan Konservasi Dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa mengategorikannya terancam punah. Konvensi Perdagangan Internasional untuk Flora dan Fauna yang Terancam Punah memasukkannya dalam Apendiks 1 yang berarti mengatur perdagangannya ekstra ketat. Berdasarkan kriteria keterancaman terbaru dari IUCN, Elang Jawa dimasukan dalam kategori Endangered atau “Genting” (Collar et al., 1994, Shannaz et al., 1995). Melalui Keputusan Presiden Nomor 4 Tahun 1993 tentang Satwa dan Bunga Nasional, Pemerintah RI mengukuhkan Elang Jawa sebagai wakil satwa langka dirgantara.
Habitat burung Elang Jawa hanya terbatas di Pulau Jawa, terutama di wilayah-wilayah dengan hutan primer dan di daerah perbukitan berhutan pada peralihan dataran rendah dengan pegunungan.
Bahkan saat ini, habitat burung ini semakin menyempit akibat minimnya ekosistem hutan akibat perusakan oleh manusia, dampak pemanasan global, dan dampak pestisida. Di Jawa Barat, Elang Jawa hanya terdapat di Gunung Pancar, Gunung Salak, Gunung Gede Pangrango, Papandayan, Patuha dan Gunung Halimun.
Di Jawa Tengah Elang Jawa terdapat di Gunung Slamet, Gunung Ungaran, Gunung Muria, Gunung Lawu, dan Gunung Merapi, sedangkan di Jawa Timur terdapat di Merubetiri, Baluran, Alas Purwo, Taman Nasional Bromo-Tengger-Semeru, dan Wilis.
ORANG UTAN

Orang utan (atau orangutan, nama lainnya adalah mawas) adalah sejenis kera besar dengan lengan panjang dan berbulu kemerahan atau cokelat, yang hidup di hutan tropika Indonesia danMalaysia, khususnya di Pulau Kalimantan dan Sumatera.

Ciri-Ciri
Mereka memiliki tubuh yang gemuk dan besar, berleher besar, lengan yang panjang dan kuat, kaki yang pendek dan tertunduk, dan tidak mempunyai ekor.[6]
Orangutan memiliki tinggi sekitar 1.25-1.5 meter.[7]
Tubuh orangutan diselimuti rambut merah kecoklatan.[3] Mereka mempunyai kepala yang besar dengan posisi mulut yang tinggi.[6]
Saat mencapai tingkat kematangan seksual, orangutan jantan memiliki pelipis yang gemuk pada kedua sisi, ubun-ubun yang besar, rambut menjadi panjang dan tumbuh janggut disekitar wajah.[8] Mereka mempunyai indera yang sama seperti manusia, yaitu pendengaran, penglihatan, penciuman, pengecap, dan peraba.
Berat orangutan jantan sekitar 50-90 kg, sedangkan orangutan betina beratnya sekitar 30-50 kg.
Telapak tangan mereka mempunyai 4 jari-jari panjang ditambah 1 ibu jari.[6] Telapak kaki mereka juga memiliki susunan jari-jemari yang sangat mirip dengan manusia.
Orangutan masih termasuk dalam spesies kera besar seperti gorila dan simpanse.[4] Golongan kera besar masuk dalam klasifikasimammalia, memiliki ukuran otak yang besar, mata yang mengarah kedepan, dan tangan yang dapat melakukan genggaman.[4]
[sunting]Klasifikasi
Orangutan termasuk hewan vertebrata, yang berarti bahwa mereka memiliki tulang belakang.[rujukan?] Orangutan juga termasuk hewanmamalia dan primata.[rujukan?]
Spesies dan Subspesies
1. Ada 2 jenis spesies orangutan, yaitu Orangutan Kalimantan / Borneo (Pongo pygmaeus) dan Orangutan Sumatra (Pongo abelii).2. Keturunan Orangutan Sumatra dan Kalimantan berbeda sejak 1.1 sampai 2.3 juta tahun yang lalu.
3. Subspecies
Pembelajaran genetik telah mengidentifikasi 3 subspesies Orangutan Borneo : P.p.pygmaeus, P.p.wurmbii, P.p.morio.[9] Masing-masing subspesies berdiferensiasi sesuai dengan daerah sebaran geografisnya dan meliputi ukuran tubuh.[9]
Orangutan Kalimantan Tengah (P.p.wurmbii) mendiami daerah Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah.[9] Mereka merupakan subspesies Borneo yang terbesar.[9]
Orangutan Kalimantan daerah Timur Laut (P.p.morio) mendiami daerah Sabah dan daerah Kalimantan Timur. Mereka merupakan subspesies yang terkecil.
Saat ini tidak ada subspecies orangutan Kalimantan yang berhasil dikenali

Cara melindungi diri
Orangutan termasuk makhluk pemalu. Mereka jarang memperlihatkan dirinya kepada orang atau makhluk lain yang tak dikenalnya.[rujukan?]
Reproduksi
Orangutan betina biasanya melahirkan pada usia 7-10 tahun dengan lama kandungan berkisar antara 8,5 hingga 9 bulan; hampir sama dengan manusia. Jumlah bayi yang dilahirkan seorang betina biasanya hanya satu. Bayi orangutan dapat hidup mandiri pada usia 6-7 tahun. Kebergantungan orangutan pada induknya merupakan yang terlama dari semua hewan, karena ada banyak hal yang harus dipelajari untuk bisa bertahan hidup, mereka biasanya dipelihara hingga berusia 6 tahun. [8]
Orangutan berkembangbiak lebih lama dibandingkan hewan primata lainnya, orangutan betina hanya melahirkan seekor anak setiap 7-8 tahun sekali.[5] Umur orangutan di alam liar sekitar 45 tahun, dan sepanjang gidupnya orangutan betina hanya memiliki 3 keturunan seumur hidupnya.[5] Dimana itu berarti reproduksi orangutan sangat lambat.[5]
Komodo di Pulau Padar Punah


KUPANG - Populasi binatang langka Komodo di Balai Taman Nasional Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur terancam punah.

Bahkan biawak raksasa yang hanya bisa hidup secara alamiah di bagian barat Flores ini jumlahnya semakin berkurang beberapa tahun terakhir.

Di Pulau Padar, misalnya, sejak tahun 2000 lalu populasi komodo di daerah itu tidak ditemukan lagi. "Komodo di Pulau Padar punah total. Tidak ada lagi kotoran komodo yang ditemukan di sana. Belum diketahui pasti penyebab punahnya binatang langka itu. Tetapi kuat dugaan perburuan liar rusa dan babi serta perubahan lingkungan akibat pembakaran liar menjadi penyebab punahnya Komodo," kata Kepala Seksi Pengelolaan Balai Taman Nasional Komodo Pulau Padar, Ramang Isaka melalui saluran telepon, Senin (4/8/2008).

Menurutnya, antara tahun 1980-1990-an, populasi komodo di Pulau Padar masih banyak. Tetapi karena aksi para pemburu liar yang membakar hutan di kawasan itu membuat ruang gerak komodo semakin terjepit dan kemungkinan puluhan ekor komodo ikut terbakar.

Dia menambahkan, aksi para pemburu yang senang membakar hutan menjadi ancaman serius bagi perkembangan komodo beberapa tahun terakhir.

"Secara keseluruhan, jumlah komodo yang masih hidup diperkirakan 2.500 ekor yang tersebar di Pulau Komodo, Pulau Rinca dan Pulau Gili Motang," katanya.

Biawak komodo, lanjutnya, hanya dapat bertahan hidup di lokasi yang memiliki ketersediaan air yang cukup, tempat berlindungnya aman, banyak pohon rimbun serta makanan berlimpah.

"Kenyataannya di Pulau Padar, rusa dan babi semakin berkurang dan sebagian besar hutan sudah rusak akibat pembakaran liar," katanya.

Punahnya komodo di Pulau Padar, membuat pengelola Taman Nasional Komodo bekerja keras untuk mempertahankan kelestarian binatang langka itu.

"Kami masih melakukan penyelidikan tentang penyebab utama kepunahan komodo di Pulau Padar. Rencananya bulan ini kami akan melakukan survei untuk mengetahui pasti kondisi alam Pulau Padar sekaligus menginventarisir jenis-jenis makanan komodo yang masih ada di kawasan itu," katanya.

Sementara itu, arus kunjungan wisatawan asing dan mancanegara ke kawasan itu, terus bertambah beberapa tahun terakhir. Sampai dengan semester pertama 2008, jumlah wisatawan yang berkunjung mencapai 2.800 orang.

Sebagian besar wisatawan menjadikan kawasan Taman Nasional Komodo sebagai tujuan utama. Kebanyakan wisatawan berasal dari Amerika Serikat, Jerman, Belanda, Perancis, Inggris, Australia, Rusia dan beberapa negara Eropa lainnya.
Gajah Sumatera Akan Punah dalam 30 Tahun
Gajah sumatera akan punah dalam tiga dekade kecuali langkah cepat bisa diambil untuk menghambat laju deforestasi.
International Union for Conservation of Nature (IUCN) menyatakan bahwa gajah sumatera adalah spesies yang terancam punah karena populasinya menurun menjadi 2.400-2.800 dari sekitar 5.000 ekor pada 1985.
Penurunan populasi dikatakan disebabkan oleh perusakan habitat, di mana hutan di Sumatera ditebang dan dikonversi menjadi lahan kelapa sawit dan mendukung kepentingan industri pulp and paper.
"Gajah sumatera menjadi anggota spesies terancam punah yang terus bertambah jumlahnya," kata Carlos Drew dari WWF seperti dikutip AP, Selasa (24/1/2012).
"Kecuali aksi konservasi dan segera dan efektif, hewan luar biasa ini akan punah dalam masa hidup kita," ujarnya.
Gajah sumatera silaporkan sering berkonflik dengan warga desa. Akibat konflik, gajah ini sering kali dibunuh. Gajah juga diburu untuk gadingnya.
Sumatera merupakan salah satu habitat gajah terpenting Asia, selain India dan Sri Lanka. Sumatera juga merupakan habitat bagi orangutan sumatera yang juga terancam punah.
Harimau Sumatera Makin Terancam Punah
Harimau Sumatera diperkirakan kini hanya terdapat seekor lagi pada habitatnya seluas 300 hektar sehingga satwa langka tersebut makin terancam punah.
  
"Ancaman tersebut bisa terjadi antara lain akibat terjadinya konflik satwa langka itu dengan manusia terkait perburuan liar, salah jerat atau terperangkap jerat babi, serta pembukaan hutan sebagai lahan pertanian dan perkebunan," kata Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumbar Indra Arinal di Padang,
 
Indra Arinal mengatakan hal itu terkait evaluasi sepanjang 2008 di Sumbar tercatat seekor harimau Sumatera yang mati dan tiga orang warga meninggal akibat diterkam harimau tersebut.

Menurut dia, harimau melakukan perlawanan dengan manusia lebih karena habitatnya dimanfaatkan akibat aktivitas pertanian dan perkebunan sawit serta cokelat.

"Berkurangnya luas habitat mereka telah memicu terjadinya 'konflik' antara satwa langka tersebut dan penduduk yang bermukim di sekitar kawasan hutan itu," katanya.

Indra mengatakan, maraknya pembukaan kawasan juga akibat pemotongan jalan  perkampungan bagi perkebunan sawit dan kakao, dan memberi dampak habitat harimau Sumatera itu makin sedikit .

Untuk tiga ekor harimau dengan luas hutan yang terpotong jelas sangat sempit bagi harimau itu untuk hidup sehingga dapat memicu "konflik" dengan penduduk.

"Sebanyak 40 petugas kehutanan terus disiagakan antara lain untuk melakukan patroli secara bergilir untuk mengawasi terjadinya aksi penangkapan liar satwa dilindungi itu," katanya.

Data BKSDA Sumbar mencatat sepanjang 2008, selain harimau Sumatera, satwa dilindungi lainnya yang juga terancam punah adalah beruang Sumatera, tapir Sumatera, dan penyu Sumatera yang memerlukan perhatian serius Pemprov Sumbar untuk melindunginya.

Tapir di Sumatera Utara Terancam Punah

Jakarta: Menurut Monang dari Wahana Lingkungan Hidup Sumatera Utara, 8-10 ribu hektare hutan lindung Nantalu dirambah oleh perkebunan sawit, 1.500 hektare hutan lindung Register juga dibabat untuk perkebunan sawit. Sementara itu hutan lindung Tormatutung yang letaknya di perbatasan Kabupaten Asahan dan Kabupaten Tobasa mengalami hal sama.

“Di hutan lindung Tormatutung ada suaka margasatwa yang hampir seluruhnya sudah habis dan berubah menjadi perkebunan sawit,” kata Monang yang berada di Sumatera Utara saat dihubungi Tempo, Senin siang.

Menurutnya, banyak pihak yang tidak tahu bahwa di hutan tersebut terdapat suaka margasatwa. Hutan yang kemiringannya mencapai 30 derajat itu, kata Monang, seharusnya tidak boleh ditebang dijadikan perkebunan sawit. Hewan tapir yang berada di kawasan itu bisa terancam punah. “Sisa kawasan suaka margasatwa tersebut, tinggal 300-500 hektare saja,” ujarnya.

Dia menjelaskan, laju kerusakan hutan cukup tinggi. Bahkan luas hutan di wilayah itu, menurut Monang, tidak sampai 1 juta hektare. "Padahal Menteri Kehuatanan mengklaim luas hutan di Sumatera Utara 3,7 juta hektare," ujarnya.

Hutan yang juga potensial mengalami kerusakan adalah hutan-hutan yang terletak di perbatasan kabupaten. Monang mengatakan, ada 13 kabupaten yang memiliki hutan di perbatasan.

Anoa di Sulawesi Tenggara Terancam Punah

Anoa, satwa endemik sekaligus maskot Sulawesi Tenggara di Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara,terancam punah. Pasalnya, selama lima tahun terakhir ini sulit dilacak dan diperkirakan lima tahun ke depan akan punah.
Kepala Kantor Seksi Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) Resort Kolaka Sinyo mengatakan, dulunya habitat hewan ini berada di kawasan hutan lindung Kabupaten Kolaka dan Kolaka Utara. Sejak alih fungsi hutan secara besar-besaran membuat populasi anoa berkurang.
”Dalam lima tahun terakhir memang populasi binatang endemik kita ini menurun secara drastis. Pengalihan kawasan hutan lindung menjadi hutan produksi pada lima tahun terakhir secara besar-besaran oleh pemda Kolaka dan Kolaka Utara adalah penyebab utamanya,” ungkapnya, Selasa (29/5).
Sinyo menambahkan, rusaknya habitat anoa di pegunungan memaksa bintang ini masuk ke kebun atau permukiman warga. Parahnya, anoa kerap kali dianggap sebagai ancaman oleh warga yang bermukim di kaki Gunung Mekongga yang merupakan habitat asli binatang ini.
"Untuk mengurangi risiko diserang anoa, warga pun memasang jerat untuk anoa,” tambahnya. Bahkan, jelang hari raya Idul Fitri, hewan ini menjadi hewan buruan untuk diambil dagingnya lalu dijual ke pasar secara bebas.
Seorang warga yang bermukim di Desa Ulunggulaka, Mulyadi, mengatakan, ia kerap mendapati anoa yang terperangkap di jerat miliknya. ”Biasanya, kami pasang jerat untuk babi, tetapi setelah kami datangi yang kena itu anoa. Daging anoa ini kalau dijual bisa lebih mahal daripada daging sapi. Mungkin penyebabnya (anoa turun) karena hutan yang di atas itu sudah gundul,” paparnya.






Penyu Hijau di Tanggamus Terancam Punah

Direktur Yayasan CIKAL Lampung, Rico Stevanus, mengatakan, populasi penyu hijau di Kabupaten Tanggamus, Provinsi Lampung, terancam punah karena banyaknya perburuan. Selain itu, lingkungan yang menjadi habitat tempat bertelur hewan itu rusak.     
"Habitat tempat penyu bertelur biasanya di Teluk Kiluan, Kelumbayan, Tanggamus. Namun saat ini sudah sangat jarang terlihat keberadaan hewan bertempurung itu," ujar Rico, di Bandarlampung,
Menurut Rico, maraknya perburuan dan pencurian telur hewan yang tergolong langka itu, menyebabkan populasinya terus mengalami penurunan bahkan nyaris punah.     
"Saat ini populasi penyu sudah sangat minim, sehingga perlu perhatian khusus dari seluruh elemen masyarakat, agar dapat menjaga serta melestraikan hewan langka di dunia itu," kata Rico.     
"Penyu hijau saat ini lebih banyak ditemui di wilayah pesisir Kabupaten Lampung Barat, sedangkan untuk daerah ini (Tanggamus) sudah sangat jarang," katanya.     
Sebelumnya kawasan Teluk Kilauan merupakan tempat atau habitat hewan itu untuk bertelur.     
Kepala Pekon (Desa) Kiluannegeri, Kadek Sukresna, mengatakan, kini sudah sangat jarang menjumpai penyu hijau di perairan Teluk Kiluan. Padahal dulu jenis penyu ini sangat mudah ditemui.     
Dia menjelaskan, pada tahun 2003-2004 memang pernah terjadi penangkapan massal penyu hijau di daerah itu untuk dibawa ke Pulau Bali. "Pascapenangkapan itu, populasinya terus menurun," terang Kadek.     
Sekitar tahun 2007, ia melanjutkan, sempat dilakukan penangkaran penyu hijau di Teluk Kiluan. Namun upaya penangkaran itu tidak berjalan maksimal.     
Selain penyu hijau di kawasan perairan Teluk Kiluan, juga dapat ditemukan penyu belimbing (Dermochelys coriacea).     
Namun, ujar kepala pekon itu, seperti halnya penyu hijau, populasi penyu belimbing pun kini semakin sedikit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar